LATAR BELAKANG DAN MASALAH
DALAM UPACARA “TULA
AHAR”
Oleh: Cornel Lejab
Desa Watuwawer terletak 36 km
ke arah selatan dari kota Lewoleba, ibu kota kabupaten Lembata. Desa ini
terletak di sebuah dataran tinggi yang dikelilingi bebukitan tidak jauh dari
lokasi sumber panas bumi “Karun” yang memiliki
kisah legenda yang tak tepisahkan dari kehadiran kampung Watuwawer tempo
doeloe.
Konon, menurut penutur legenda,
warga asli Watuwawer adalah suku Wawin
yang nenek moyangnya berasal dari kampung
Mudagedo yang mengungsi ke dataran yang mulanya disebut Atakore. Warga
Mudagedo mengungsi ketika terjadi bencana alam yang menyemburkan panas dari
perut bumi dan mengubah kampung itu menjadi
tandus.
Leluhur yang mendiami dataran ini kemudian memberi nama Watuwawer untuk desa yang dibangunnya. Pada masa Orde Baru ketika dicetuskan
desa gaya baru, maka Watuwawer kembali menggunakan nama asli yakni desa Atakore.
Masyarakat Watuwawer yang terdiri
darti suku Wawin, Lajar,Lerek, Tukan, Karang, Huar, Koban dan Lejap sama-sama mewarisi budaya ‘Tula Ahar’ dan ‘Tun Kwar (Ga)’ yang dipertahankan sampai sekarang.
Meski semua suku yang mendiami
desa Watuwawer mewarisi upacara adat yang sama, penyelenggaraan upacara
dilakukan di rumah adat suku
masing-masing. Untuk suku Lejap, upacara ini diselenggarakan pada dua
(2)
rumah adat, yakni Koker Luwa
Bruin (Rumah adat Lejap Bruin) dan Koker Luwa Nujan (Rumah Adat
Lejap Nujan).
Upacara adat ‘Tula Ahar’ (baca =
tule ahar) yang diselenggarakan di salah satu rumah adat dapat diikuti oleh
keluarga dari suku lain. Hal ini menggambarkan ikatan kebersamaan yang dilukiskan melalui syair-syair ‘Kolewalan’ (tangkai setandan) yang biasanya
dilantunkan dalam tarian adat yang dipertunjukkan masyarakat untuk merayakan pesta ‘Tula Ahar.” Kolewalan simbol ikatan persaudaraan dan
kekerabatan yang sangat erat.
Upacara ‘Tula Ahar’ biasanya
diselenggarakan selama sepekan, karena harus melewati 4 jenis ritual yang
masing-masingnya berjarak genap 2 hari.
Keempat ritual tersebut, yaitu:
1. Tobe Tar Elor =
Menetapkan jadwal secara resmi upacara “Tula Ahar” di rumah adat yang ditentukan pada Hari Pertama :
2. Beraweye Gewei (bәrawәyә Gewei)=
Ibu dan anak peserta upacara memasuki rumah adat, dan dikurung dalam rumah adat
selama dua (2) hari yang pelaksanaannya dimulai pada hari kedua dan ketiga.
3. Beraweye Dopai (Bәrawәyә Dopai)= Ibu dan anak keluar dari rumah adat untuk dimandikan
dengan air adat “Wai aheren”
(baca= wei ahәrәn)
yang dilaksanakan pada hari keempat.
4. Hemelung ketane =
Ibu dan anak dimandikan kembali untuk
menghabiskan ‘air hemelung’ (=wәi hәmәlung)
yang tersisa yang diistilahkan “Lәtur kәlau” (=membalikkan perangkat mandi
yang terbuat dari buah labu). Itu diselenggarakan pada hari keenam.
Upacara ‘Tula Ahar” ini
diwajibkan untuk tiap keluarga baru sebanyak 1 kali. Artinya kalau anak sulung
sudah mengikuti upacara ini maka adik-adiknya yang terlahir kemudian tidak
perlu lagi diikutkan upacara Ahar, atau
cukup satu anak dalam keluarga.
Apabila upacara ahar tertunda
sementara sudah terlahir anak berikutnya
maka upacara ini dilakukan untuk anak yang
terakhir atau yang dilahirkan
belakangan.
Penyelenggaraan upacara ini
sesungguhnya memiliki symbol harapan bagi anak-anak yang dimandikan, yaitu: Bagi Anak pria diharapkan akan
menjadi orang yang mempunyai pekerjaan yang baik agar dapat membantu sesama yang kekurangan. Hal ini dilukiskan dalam syair ‘Hope bala hogo roi tau kuna ae rua’.
Sedangkan bagi anak wanita diharapkan memiliki keterampilan sebagai wanita yang menunjang
kehidupan keluarga. Hal ini dilukiskan dalam syair: ‘Lei limuta helaga wewan demu ro ketebu’. Upacara ini juga mengandung harapan memperoleh dukungan para leluhur dalam memohonkan kesehatan dan kesejahteraan rohani
jasmani bagi keluarga.
Karena besarnya biaya upacara, seringkali
ada keluarga baru yang menghindar untuk ikut dalam upacara ini. Mereka berusaha
memperoleh air “Ahar” secara sembunyi-sembunyi melalui penyelenggara upacara
untuk mandi dan mengharapkan restu
leluhur bagi kesehatan dan kesejahteraanya. Apabila hal ini ketahuan, orang ini dikenakan sanksi adat yang cukup berat yang disebut
‘bako kelewak’, yaitu denda berupa hewan
beras dan tuak sebesar tanggungan ibu utama (ina beneren) peserta upacara.
MASALAH
Upacara adat “Tula Ahar” dapat
dikagumi dari ketahanan tradisi yang masih terjaga namun ada beberapa
permasalahan antara lain:
1.
Belum ada koordinasi yang baik atas hajatan ini sehingga sulit untuk memastikan berapa
keluarga yang akan menyelenggarakan upacara “Tula Ahar” dalam kurun waktu
tertentu, dan kapan upacara ini dapat diselenggarakan. Hal ini penting kalau
upacara ini mau diangkat menjadi obyek
wisata budaya.
2.
Upacara berjalan secara monolog saja di bawah pimpinan seorang ‘temulu
kenahin’ sehingga peserta kurang
mengikuti dan menghayati makna setiap ritual yang dilewati.
3. Generasi
muda kurang dilibatkan sehingga ada kekuatiran budaya ini lama kelamaan akan
hilang atau tenggelam dalam arus modern.
4.
Mental masyarakat yang lamban menjadi ciri khas orang
Watuwawer. Meski sudah ada kesepakatan
waktu dan tugas, pada
saat dibutuhkan masih harus dipanggil atau dijemput.
5. Ritual
adat ini bernilai sakral namun karena kurang arahan dan pemahaman maka petugas upacara yang tidak sungguh-sungguh
mengikutinya termasuk tidak
memperhatikan busana adat yang dikenakan selama upacara.
6. Ada
ritual yang punya nilai mortal tinggi
namun dilaksanakan dalam suasana yang tidak mendukung nilai tersebut, misalnya:
a. Acara “Gelapi keluo galengen”: Upacara ini
mengandung nilai kebersamaan di mana seluruh hadirin memakan “nasi adat” secara bersama-sama,
tidak diatur secara baik malah berebutan sampai ada yang jatuh karena merebut
“nasi adat” tersebut.
b. Acara “Bau Wai” (= bәu wәi) : Acara bersiraman air merupakan hiburan masyarakat
yang diselenggarakan sehari setelah
ritual “Beraweye dopai”, ternyata dilaksanakan bertepatan dengan acara
“hama etiken” dan ini sangat mengganggu acara yang seharusnya dihayati oleh seluruh
peserta upacara.
7.
Ritual yang dijalankan dalam rumah adat sulit diliput
karena sempitnya ruangan.
8.
Sarana music tradisional berupa gendang dan giring-giring
yang seharusnya digunakan untuk mengiringi tarian-tarian adat sudah tidak ada dan sepertinya sudah tidak dibutuhkan lagi.
*Acara bau
wai: bersiraman
air biasanya dilakukan antara kaum muda mudi dalam desa, misalnya para pemuda
dari suku A berramai-ramai menyerang wilayah suku B dengan membawa bambu
berisi air untuk menyiram para gadis yang ditemukan di wilayah suku B. Acara
ini merupakan ajang mencari jodoh.