Sabtu, 10 Agustus 2013

Upacara Adat "Tula Ahar"



LATAR BELAKANG  DAN MASALAH
DALAM UPACARA “TULA AHAR”

Oleh: Cornel Lejab

Desa Watuwawer  terletak 36 km ke arah selatan dari kota Lewoleba, ibu kota kabupaten Lembata. Desa ini terletak di sebuah dataran tinggi yang dikelilingi bebukitan tidak jauh dari lokasi sumber panas  bumi “Karun” yang memiliki kisah legenda yang tak tepisahkan dari kehadiran kampung Watuwawer tempo doeloe.

Konon, menurut penutur legenda, warga asli Watuwawer adalah suku Wawin yang nenek moyangnya berasal dari kampung Mudagedo yang mengungsi  ke dataran yang mulanya disebut Atakore. Warga Mudagedo mengungsi ketika terjadi bencana alam yang menyemburkan panas dari perut bumi dan mengubah kampung itu menjadi  tandus.

Leluhur yang  mendiami dataran  ini kemudian memberi nama Watuwawer untuk desa yang dibangunnya. Pada masa Orde Baru ketika dicetuskan desa gaya baru, maka Watuwawer kembali menggunakan nama asli yakni desa Atakore.

Masyarakat  Watuwawer yang terdiri darti suku Wawin, Lajar,Lerek, Tukan, Karang, Huar, Koban dan Lejap sama-sama mewarisi budaya ‘Tula Ahar’ dan ‘Tun Kwar (Ga)yang dipertahankan sampai sekarang.
Meski semua suku yang mendiami desa Watuwawer mewarisi upacara adat yang sama, penyelenggaraan upacara dilakukan di rumah adat suku masing-masing. Untuk suku Lejap, upacara ini diselenggarakan pada dua (2)  rumah adat, yakni Koker  Luwa Bruin (Rumah adat Lejap Bruin) dan Koker Luwa Nujan (Rumah Adat Lejap Nujan).

Upacara adat ‘Tula Ahar’ (baca = tule ahar) yang diselenggarakan di salah satu rumah adat dapat diikuti oleh keluarga dari suku lain. Hal ini menggambarkan ikatan kebersamaan yang  dilukiskan melalui syair-syair  ‘Kolewalan’ (tangkai setandan) yang biasanya dilantunkan dalam tarian adat yang dipertunjukkan masyarakat untuk merayakan pesta ‘Tula Ahar.”  Kolewalan simbol ikatan persaudaraan dan kekerabatan yang sangat erat.

Upacara ‘Tula Ahar’ biasanya diselenggarakan selama sepekan, karena harus melewati 4 jenis ritual yang masing-masingnya berjarak  genap  2 hari.

Keempat ritual tersebut, yaitu:
1. Tobe Tar Elor = Menetapkan jadwal secara resmi upacara “Tula Ahar” di rumah adat yang ditentukan pada Hari Pertama                 :
2. Beraweye Gewei (bәrawәyә Gewei)= Ibu dan anak peserta upacara memasuki rumah adat, dan dikurung dalam rumah adat selama dua (2) hari yang pelaksanaannya dimulai pada hari kedua dan ketiga. 
3. Beraweye Dopai (Bәrawәyә Dopai)= Ibu dan anak  keluar dari rumah adat untuk dimandikan dengan air adat “Wai aheren” (baca= wei ahәrәn) yang dilaksanakan pada hari keempat
4. Hemelung ketane =  Ibu dan anak dimandikan kembali untuk  menghabiskan   ‘air hemelung’ (=wәi hәmәlung) yang tersisa yang diistilahkan “Lәtur kәlau” (=membalikkan perangkat mandi yang terbuat dari buah labu). Itu diselenggarakan pada hari keenam.

Upacara ‘Tula Ahar” ini diwajibkan untuk tiap keluarga baru sebanyak 1 kali. Artinya kalau anak sulung sudah mengikuti upacara ini maka adik-adiknya yang terlahir kemudian tidak perlu lagi diikutkan upacara Ahar, atau cukup satu anak dalam keluarga. Apabila  upacara ahar tertunda sementara  sudah terlahir anak berikutnya  maka upacara ini dilakukan untuk anak yang terakhir atau yang dilahirkan belakangan.

Penyelenggaraan upacara ini sesungguhnya memiliki symbol harapan bagi anak-anak yang dimandikan, yaitu: Bagi Anak pria diharapkan akan menjadi orang yang mempunyai pekerjaan yang baik agar dapat membantu sesama yang kekurangan. Hal ini dilukiskan dalam syair ‘Hope bala hogo roi tau kuna ae rua’. Sedangkan bagi anak wanita diharapkan memiliki keterampilan sebagai wanita yang menunjang kehidupan keluarga. Hal ini dilukiskan dalam syair: ‘Lei limuta helaga wewan demu ro ketebu’. Upacara ini juga mengandung harapan  memperoleh dukungan para leluhur dalam memohonkan kesehatan dan kesejahteraan rohani jasmani bagi keluarga.

Karena besarnya biaya upacara, seringkali ada keluarga baru yang menghindar untuk ikut dalam upacara ini. Mereka berusaha memperoleh air “Ahar” secara sembunyi-sembunyi melalui penyelenggara upacara untuk mandi dan mengharapkan restu leluhur bagi kesehatan dan kesejahteraanya. Apabila hal ini ketahuan, orang ini dikenakan  sanksi adat yang cukup berat yang disebut ‘bako kelewak’, yaitu denda berupa  hewan beras dan tuak  sebesar tanggungan ibu utama (ina beneren) peserta upacara.

MASALAH
Upacara adat “Tula Ahar” dapat dikagumi dari ketahanan tradisi yang masih terjaga namun ada beberapa permasalahan antara lain:
1.      Belum ada koordinasi yang baik atas hajatan ini sehingga sulit untuk memastikan berapa keluarga yang akan menyelenggarakan upacara “Tula Ahar” dalam kurun waktu tertentu, dan kapan upacara ini dapat diselenggarakan. Hal ini penting kalau upacara ini mau    diangkat menjadi obyek wisata budaya.

2.      Upacara berjalan secara monolog saja di bawah pimpinan seorang  ‘temulu kenahin’  sehingga peserta kurang mengikuti dan menghayati makna setiap ritual yang   dilewati.

3.      Generasi muda kurang dilibatkan sehingga ada kekuatiran budaya ini lama  kelamaan akan  hilang atau tenggelam dalam arus modern.

4.      Mental masyarakat yang lamban menjadi ciri khas orang Watuwawer. Meski sudah   ada kesepakatan waktu dan tugas, pada saat dibutuhkan masih harus dipanggil atau dijemput.

5.      Ritual adat ini bernilai sakral  namun  karena kurang arahan dan pemahaman maka petugas  upacara yang tidak sungguh-sungguh mengikutinya termasuk  tidak  memperhatikan busana  adat yang dikenakan selama upacara.

6.      Ada ritual yang punya nilai mortal tinggi namun dilaksanakan dalam suasana yang   tidak mendukung nilai tersebut, misalnya:
a.       Acara “Gelapi keluo galengen”: Upacara ini mengandung nilai kebersamaan di mana seluruh hadirin memakan “nasi adat” secara bersama-sama, tidak diatur secara baik malah berebutan sampai ada yang jatuh karena merebut “nasi adat” tersebut.
b.      Acara “Bau Wai” (= bәu wәi) : Acara bersiraman air merupakan hiburan masyarakat yang diselenggarakan sehari setelah  ritual “Beraweye dopai”, ternyata dilaksanakan bertepatan dengan acara “hama etiken” dan ini sangat mengganggu acara yang seharusnya dihayati oleh seluruh peserta upacara.

7.      Ritual yang dijalankan dalam rumah adat sulit diliput karena sempitnya  ruangan.

8.      Sarana music tradisional berupa gendang dan giring-giring yang seharusnya digunakan untuk mengiringi tarian-tarian adat sudah tidak ada dan sepertinya sudah tidak dibutuhkan lagi.

*Acara bau wai: bersiraman air biasanya dilakukan antara kaum muda mudi dalam desa, misalnya para pemuda dari suku A berramai-ramai menyerang wilayah suku B dengan membawa bambu berisi air untuk menyiram para gadis yang ditemukan di wilayah suku B. Acara  ini merupakan ajang mencari jodoh.